PENGERTIAN HUKUM DAGANG
Hukum dagang dikatakan juga
merupakan bagian dari hukum perdata atau hukum perdata khusus. Paham ini timbul
akibat adanya kodifikasi hukum dagang dalam KUHD dan hukum perdata dalam
KUHPerdata, karena hanya mengatur tentang perdagangan.
·
Pendapat Ahmad Ihsan, hukum dagang adalah hukum yang mengatur
tentang masalah perdagangan atau perniagaan.
·
Pendapat Purwo Sucipto, hukum dagang adalah hukum perikatan yang
timbul dalam lapangan perusahaan.
·
Secara umum à hukum dagang adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara satu orang dengan orang yang lain dalam bidang perdagangan atau
perusahaan.
Sekarang
ini, istilah hukum dagang cenderung sudah ditinggalkan, karena:
·
Istilah pedagang dan perdagangan yang diatur dalam pasal 2-5 KUHD
sejak 1938, diganti oleh pemerintah Belanda : Pedagang => Pengusaha dan
Perdagangan => Perusahaan.
·
Hukum dagang itu, tidak hanya membicarakan masalah kegiatan dagang
(jual beli) tetapi juga membicarakan, membahas hal-hal lain yang langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan organisasi atau badan usaha yang
melakukan kegiatan perdagangan/ jual beli itu.
·
Hukum dagang juga mengatur pelaku perdagangan, (PT, FIRMA)
·
Akhir2 ini istilah hukum bisnis lebih populer. Hukum bisnis berasal dari
BUSSINESS yg artinya kegiatan usaha. Jadi kegiatan bisnis diartikan sebagai
kegiatan usaha yang dijalankan oleh perorangan ataupun oleh suatu perkumpulan
(badan usaha, perusahaan) secara teratur dan terus menerus berupa kegiatan
pengadaan barang maupun jasa. Dengan demikian, hukum bisnis adalah kumpulan peraturan2
yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan
perusahaan di dalam menjalankan roda perekonomian.
SISTIMATIKA
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG
Pada
awalnya KUHD terdiri dari 3 buku. Buku ke- :
1.
Tentang perdagangan pada umumnya (definisi, pengertian,dsb)
2.
Mengatur tentang hak dan kewajiban yang lahir dari pelayaran. Karena semua
kegiatan perdagangan umumnya melalui laut.
3.
Tentang kepailitan dan penundaan pembayaran. (kemudian dikeluarkan karena
banyak tekanan, jadi sistematika hanya terdiri dari 2 buku. Dikeluarkan karena
hukum kepailitan sepenuhnya merupakan hukum formil/ hukum acara. Kemudian
pemerintah Indonesia menetapkan UU ttg kepailitan dan penundaan pembayaran
utang dlm UU no 37 th 2004.)
SUMBER-SUMBER
HUKUM DAGANG INDONESIA :
1.
UU
a. Yang
sudah dikodefikasi : KUHP dan KUHD
b.
Yang belum dikodefikasi : Berbagai peraturan perUUan yang dibuat oleh
pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang.
2.
Kebiasaan (custom)
3.
Yurisprudensi
4.
Traktat
5.
Doktrin
Selain
kata dagang, pengertian ekonomi yang sering digunakan di dalam kitab uu hk
dangang, adalah BEDRIJF (perusahaan) dan BEROEP (pekerjaan). Ada ketentuan2
khusus yang hanya berlaku untuk BEDRIJF.
Disebut
BEDRIJF bila seseorang berpindah keluar (mlakukan kegiatan2 keluar) untuk
mencari keuntungan dengan cara lebih banyak menggunakan modal dibandingkan
tenaga. (pengusaha pabrik, pengusaha hotel, dsb.)
PASAL-PASAL
YANG MENGATUR HUKUM DAGANG
Pasal-pasal
yang digunakan dalam peraturan menyangkut hubungan antara Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHD) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP). Secara
umum dapat dikatakan bahwa KUHP dan KUHD merupakan swatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. KUHP merupakan Hukum perdata umum sedangkan KUHD merupakan hukum
perdata khusus ,maka hubungan kedua ini berlaku adegium “ Lex specialis
derogat lex generali ( hukum khusus menyampingkan hukum umum ) , adegium
ini dirumuskan dalam UU sebagaimana tercantum dalam pasal 1 KUHD yang berbunyi
: KUHPerdata seberapajuah dan padanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan
penyimpangan-penyimpangan berlaku juga hal-hal yang dibicarakan dalam kitab
ini.
Pasal
15 KUHD ; Segala perseroan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan
pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini dan oleh hukum perdata.
Dari
ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang diatur dalam KUHPer
berlaku juga terhadap masalah-masalah yang tidak diatur secara khusus dalam
KHUD dan sebaliknya apabila KUHD mengatur secara khusus maka
ketentuan–ketentuan umum yang tidak diatur dalam KUHper tidak berlaku Hubungan
antara KUHP dan KUHD sebagai hukum umum dan hukum khusus dapat dibuktikan lagi
dari pasal-pasal 1319, 1339 , 1347 KUHPerdata, pasal 5, pasal 396 KUHD. Dengan
demikian KHUPer dan KUHD tidak ada perbedaan asasi.
Antara
KUHP dengan KUHD sebagai hukum khusus dan hukum umum yang bersifat subordinasi,
lain hal dengan di negara Swiss bersifat koordinasi saling melengkapi , asas
pada zivilgesetzbuch dapat dipakai dalam obligationenrech
,begitu pula sebaliknya.
Beberapa
pendapat sarjana membicarakan hubungan KUHperdata dan KUHdagang antara lain :
1. Van
Kan beranggapan bahwa hukum dagang adalah suatu tambahan hukum perdata
yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus,. KUHper memuat hukum
perdata dalam arti sempit sedangkan KHUD memuat penambahan yang mengatur
hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit.
2. Van
Apeldoorn menganggap hukum dagang suatu bagian istimewa dari lapangan
hukum perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHperdata.
3. Sukardono menyatakan
bahwa pasal 1 KUHD memilihara kesatuan antara hukum perdata umum dan hukum perdata
Dagang sekedar KUHD tidak khusus menyimpang dari KUHPerdata.
4. Tirtamijaya menyatakan
bahwa hukum dagang adalah suatu hukum perdata yang istimewa.
5. Soebekti, terdapatnya
KUHD disamping KHUPer sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya oleh karena
itu sebenarnya hukum dagang tidak lain dari pada hukum perdat dan perkataan
dagang bukan suatru pengertian ekonomi.
Sumber
–sumber Hukum Dagang
Hukum
Dagang Indonesia terutama bersumber pada aturan :
1. Hukum
Tertulis yang dikodifikasikan :
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (
WVK )
2. Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata (KUHP) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia
(BW).
3. Secara
langsung bersumber padacode du commerce dan code Civildan kedua kitab
ini bersumber secara tidak langsung dari Ordonance de
Commerce dan ordonence de la Marine
2. Hukum
tertulis yang belum dikodifikasi,
Yakni
peraturan-peraturan/ perundang-undangan khusus yang mengtur tentang hal-hal
yang berhubungan dengan perdagangan.
PENGERTIAN
HUKUM DAGANG
Hukum
dalam arti harfia dapat berarti :
· Peraturan
yang dibuat oleh sesuatu kekuasaan atau alat yang berlaku oleh dan untuk orang
banyak.
· Segala
Undang-undang peraturan dsb untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.
Dari
pengertian dapat disimpuilkan bahwa hukum adalah segala sesutau peratruran baik
yang tertulis atau tidak tertulis untuk mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat
Dari
pengertian di atas terdapat kesamaan bahwa hukum adalah untuk mengatur manusia
dalam hidup masyarakat, selanjutnya tentang Dagang dalam arti harfia berarti:
1. selalu
asing negeri asing
2. selalu
pengembara ; orang asing
3. perniagaan
; jual beli.
Hukum
Dagang hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lapangan perniagaan atau
jual beli.
M.H
Tirtaamidjaja, istilah hukum dagang ini dengan hukum perniagaan; Prof
R.Soekardono menggunakan istilah hukum dagang, begitu pula saya sependapat
dengan istilah hukum dagang walaupun secara harfia mempunyai arti yang sama
yaitu : Dagang = perniagaan, karena perkataan dagang lebih populer atau lebih
banyak digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ditanya apa
pekerjaan anda ? orang akan menjawab berdagang.
Manusia
yang berdagang disebut pedagang. Siapa pedagang itu ?
Dalam
ketentuan lama dari pasal 2 s/d 5 kUHD disebutkan :
Pasal
2 : pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan pernaigaan ssebagai
pekerjaannya sehari-hari.
Pasal
3 : perbuatan perniagaan pada umumnya adalah perbuatan pembelian barang-barang
untuk dijual.
HUKUM
HUTANG-PIUTANG
Perjanjian
utang piutang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) tidak diatur secara tegas dan
terperinci, namun bersirat dalam Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyatakan
dalam perjanjian pinjaman, pihak yang meminjam harus mengembalikan dengan
bentuk dan kualitas yang sama (selanjutnya untuk kemudahan, maka istilah yang
dipergunakan adalah “perjanjian utang piutang”). Pasal 1754 KUH Perdata yang
dkutip sebagai berikut:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Kesepakatan
yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang piutang, tentu menjadi
undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Sehingga,
kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam
perjanjian utang piutang tersebut harus dengan iktikad baik dilaksanakan. Dalam
hal tidak ada atau bahkan kesepakatan rinci tidak dituangkan dalam suatu bentuk
tertulis, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata ditegaskan
bahwa aturan umum dalam KUH Perdata akan berlaku dan menjadi aturan yang harus
dipatuhi oleh para pihak. Berikut dikutip Pasal 1319 KUH Perdata sebagai
berikut:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus,
maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan
umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.”
Dengan
berpatokan pada KUH Perdata, maka setiap penafsiran, tindakan, maupun
penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk pada perjanjian utang piutang
dan KUH Perdata. Termasuk untuk menentukan suatu pihak berada dalam keadaan
wanprestasi, yang banyak ahli hukum perdata mengkategorikan wanprestasi ke
dalam 4 (empat) keadaan, yaitu:
1. Sama sekali tidak memenuhi.
2. Tidak tunai memenuhi prestasi.
3. Terlambat memenuhi prestasi.
4. Keliru memenuhi prestasi.
Sehingga,
pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila
telah menerima teguran (sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi
kewajibannya untuk melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238
KUH Perdata yang dikutip sebagai berikut:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah
atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Muara
terakhir dari keadaan wanprestasi ini adalah pengajuan gugatan terhadap pihak
yang berutang. Dengan demikian, pengadilan terkait didasarkan pada bukti yang
kuat akan menyatakan si berutang berada dalam keadaan wanprestasi, dan
diwajibkan untuk memenuhinya, serta apabila diminta pengadilan akan meletakan
sita terhadap harta benda si berutang. Artinya, kekuatan eksekutorial dimiliki
oleh pihak yang mengutangkan, sehingga secara hukum dia berhak meminta bantuan
pengadilan untuk mengeksekusi barang si berutang tersebut.
Tugas
dan fungsi Kepolisian
Kepolisian adalah alat Negara, yang berdasarkan Pasal 2
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU
Kepolisian”) yang mana fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Ditinjau dari tujuan pembentukannya, maka Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia (Pasal 4 UU Kepolisian).
Tugas pokok dari Kepolisian sebagaimana termaktub dalam
Pasal 13 UU Kepolisian, yang dikutip sebagai berikut:
“Tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Dalam
menjalankan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU Kepolisian
tersebut di atas, maka Kepolisian Republik Indonesia bertugas:
a.
Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b.
Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan;
c.
Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warna masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan;
d.
Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e.
Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f.
Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g.
Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h.
Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i.
Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup
dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan
pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j.
Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh
instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k.
Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
lingkup tugas kepolisian; serta
l.
Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam
menjalankan tugas di atas, Kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota
kepolisian sebagaimana tertuang dalam PP RI No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan
Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian
dikutip sebagaimana di bawah ini:
“Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a.
melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara,
pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.
melakukan kegiatan politik praktis;
c.
mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa;
d.
bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e.
bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan
pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik
Indonesia demi kepentingan pribadi;
f.
memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam
ruang lingkup kekuasaannya;
g.
bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat
hiburan;
h.
menjadi penagih piutang atau menjadi
pelindung orang yang punya utang;
i.
menjadi perantara/makelar perkara;
j.
menelantarkan keluarga.
HUKUM KONTRAK KERJASAMA
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata
Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan
yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada
beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua
diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui,
yaitu:
- Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
- Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
- Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai
kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan
perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian yakni:
–
Orang yang belum dewasa.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)
Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat
perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah
menikah dan sehat pikirannya.
(ii)
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi
pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila
telah mencapai umur 16 tahun.
–
Mereka yang berada di bawah pengampuan.
–
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
–
Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
- Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
- Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Syarat
No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan
syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai
obyek dari suatu perjanjian.
Apabila
syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak
untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi,
perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan
apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal
demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3.
Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian
atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,
tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
- Tidak melaksanakan isi perjanjian.
- Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
- Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.
Hapusnya Perjanjian
Hapusnya
suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Pembayaran
Adalah
setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara
sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan
hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang
kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam
pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena
pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau
barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah
suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur)
menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran,
debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran
pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda
pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah
penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.
Pembaharuan utang atau novasi
Adalah
suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan
utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau
obyek dari perjanjian itu.
d.
Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah
suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga
antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu
dengan lainnya.
Menurut
pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak
membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah
terjadi, kecuali:
(i)
Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang
berlawanan dengan hukum.
(ii)
Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan
atau dipinjamkan.
(iii)
Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang
telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e.
Percampuran utang
Adalah
apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang
(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur
menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal
oleh krediturnya.
f.
Pembebasan utang
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi
kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.
Musnahnya barang yang terutang
Adalah
jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.
Batal/Pembatalan
Menurut
pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat
antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu
tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut
Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
(i)
Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan
hakim;
(ii)
Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan
hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian
itu.
- i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut
pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.
Lewat waktu
Menurut
pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam
pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang
bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut,
maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur
atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
- Judul/Kepala
- Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
- Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
- Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
- Penutup dari Perjanjian.
C.
BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian
dapat berbentuk:
- Lisan
- Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
–
Di bawah tangan/onderhands
–
Otentik
C.1.
Pengertian Akta
Akta
adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya.
Berdasarkan
ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara
lain:
a.
Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b.
Akta Resmi (Otentik).
Akta
Di bawah Tangan
Adalah
akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini
yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila
suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka
mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah
tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan
tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian
di bawah tangan terdiri dari:
(i)
Akta di bawah tangan biasa
(ii)
Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat
dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris,
karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap
materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para
pihak.
(iii)
Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para
pihak namun penandatanganannya disaksikan
oleh atau di hadapan Notaris, namun
Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris
hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan
tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta
Resmi (Otentik)
Akta
Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat
atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu
keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu.
Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan,
pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu
akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak
beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para
pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus
menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu
sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu
akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
(i)
Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
(ii)
Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
(iii)
Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
HUKUM
TENTANG KARYAWAN//BURUH DENGAN PERUSAHAAN/ORGANISASI
Berdasarkan
Pasal 104 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
(“UUK”) jo Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU
Serikat Pekerja”), setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh ini dibentuk oleh
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh (Pasal 5 ayat [2] UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh).
Pada
saat pembentukannya, suatu serikat pekerja/serikat buruh (SP) harus memiliki
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Hal ini berdasarkan Pasal 11 Serikat Kerja/Serikat Buruh,
yang berbunyi:
(1) Setiap
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
(2) Anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan lambang;
b. dasar negara, asas, dan tujuan;
c. tanggal pendirian;
d. tempat kedudukan;
e. keanggotaan dan kepengurusan;
f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau
anggaran rumah tangga.
Setelah
proses pembentukannya selesai, maka tahapan yang harus dilakukan berikutnya
adalah memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah
Kabupaten atau walikotamadya di mana perusahaan berdomisili) untuk dilakukan
pencatatan atas pembentukan SP tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal 18 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
yang berbunyi:
(1) Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
(2) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri:
a. daftar nama anggota pembentuk;
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. susunan dan nama pengurus.
Selain
itu, ditentukan pula bahwa nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh tidak
boleh sama dengan nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh yang telah
tercatat terlebih dahulu (Pasal 19 UU
Serikat Pekerja/Serikat Buruh).
Dalam
proses pembentukannya, tidak boleh ada pihak yang menghalang-halangi atau
memaksa pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dengan cara
melakukan pemutusan hubungan kerja. Barangsiapa menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk SP, dikenakan sanksi pidana paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100
juta dan paling banyak Rp500 juta (Pasal
28 jo. Pasal 43 ayat (1) UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh).
Setelah
seluruh proses pembentukan SP ini selesai, pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara
tertulis keberadaannya kepada pihak perusahaan (manajemen perusahaan). Hal ini
diatur dalam Pasal 23 UU Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang berbunyi :
“Pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara
tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.”
Hal
ini sesuai dengan penjelasan umum UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
menyebutkan bahwa pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha.
Jadi,
dapat simpulkan bahwa syarat dan prosedur pendirian SP adalah:
1. Ada
setidaknya 10 orang anggota;
2.
Pembuatan AD/ART;
3.
Pencatatan di Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah Kabupaten atau walikotamadya
setempat;
4.
Pemberitahuan ke pihak perusahaan mengenai keberadaan SP.
HUKUM EKONOMI PEMBANGUNAN
Pengertian
ekonomi dan hukum ekonomi
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan (Ingg: scarcity).
Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:
a.) Hukum ekonomi pembangunan, yaitu
seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan
kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal)
b.) Hukum ekonomi sosial, yaitu
seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil
pembangunan ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia
(misal, hukum perburuhan dan hukum perumahan).
Contoh hukum ekonomi :
1. Jika harga sembako atau sembilan
bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri
sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah
maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya
akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.
3. Jika nilai kurs dollar amerika
naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar
negeri akan bangkrut.
4. Turunnya harga elpiji / lpg akan
menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar
negeri.
5. Semakin tinggi bunga bank untuk
tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan
jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.
Demikianlah penjelasan tentang hukum
ekonomi secara keseluruhan semoga kita semua mengerti dan dapat
megimplementasikan ke dalam kehidupan nyata ..
Hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakatdan
hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari
masyarakat itu.
Sumber
hukum ialah segala apa saja yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa yakni
aturan-aturan yang apabila dilanggar menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Hukum
ditinjau dari segi material dan formal
• Sumber-sumber hukum material
Dalam sumber hukum material dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah sosiolagi, filsafat, dsb
Contoh :
1. Seorang ahli ekonomi mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
• Sumber hukum formal
1. Undang – Undang (Statute)
Ialah suatu peraturan Negara yang
mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa
Negara.
2.
Kebiasaan (Costum)
Ialah suatu perbuatan manusia uang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal sama . Apabila suatu kebiasaan tersebut diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbul suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
3. Keputusan Hakim (Jurisprudentie)
Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila Undang – undang ataupun kebiasaan tidak member peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.
1. Traktat (Treaty)
2. Pendapat sarjana hukum (Doktrin)
3.Kodifikasi hukum
Adalah pembukuan jenis-jenis hukum
tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas :
o Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan pelbagai peraturan-peraturan
o Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu :
o Kodifikasi terbuka
Adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan-tambahan diluar induk kondifikasi.
“Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan”.
o Kodifikasi tertutup
Adalah semua hal yang menyangkut
permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.
5.
Kaidah/Norma
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga
tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta
memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan
itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman
fisik (dipenjara, hukuman mati).
Definisi Hukum Ekonomi
Kata
“ekonomi” sendiri berasal dari kata Yunani οἶκος (oikos) yang berarti
“keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos), atau “peraturan, aturan, hukum,”
dan secara garis besar diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen
rumah tangga.”
Ekonomi
adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan
kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara
kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang
jumlahnya terbatas.
Menurut
M. Manulang, ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat dalam
usahanya untuk mencapai kemakmuran (kemakmuran suatu keadaan di mana manusia
dapat memenuhi kebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa). Hukum ekonomi
lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian. Hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi kegiatan ekonomi
denganharapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan
kepentingan masyarakat.
Ilmu
ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan
menciptakan kemakmuran. Dalam hal ini, Hukum Ekonomi dapat didefinisikan
sebagai suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang
saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari
dalam masyarakat.
Hukum
ekonomi adalah suatu hubungan sebab
akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan
yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat. Selain itu
Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan
perkembangan perekonomian.
Aspek Lain dari Hukum Ekonomi
Aspek
dalam hukum ekonomi adalah semua yang berpengaruh dalam kegiatan ekonomi antara
lain adalah pelaku dari kegiatan ekonomi yang jelas mempengaruhi kejadian dalam
ekonomi, komoditas ekonomi yang menjadi awal dari sebuah kegiatan ekonomi,
kemudian aspek-aspek lain yang mempengaruhi hukum ekonomi itu sendiri seperti
contoh yang ada di atas, yaitu kurs mata uang, aspek lain yang berhubungan
seperti politik dan aspek lain dalam hubungan ekonimi yang sangat kompleks.
Selain aspek dalam hukum ekonomi ada juga norma dalam hukum ekonomi yang juga
sudah digambarkan dalam berbagai contoh yang sudah disebutkan di atas, dimana
jika suatu aspek ekonomi itu mengalami suatu kejadian yang menjadi sebab maka
norma ekonomi itu berlaku untuk menjadikan bagaimana suatu sebab mempengaruhi
kejadian lain yang menjadi akibat dari kejadian pada sebab tersebut. Dapat
diartikan bahwa norma hukum ekonomi adalah aturan-aturan yang berlaku dalam
hukum ekonomi tersebut.
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah
penjabaran ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial sehingga hukum tersebut
mempunyai dua aspek berikut:
- Aspek pengaturan usaha – usaha pembangunan ekonomi.
- Aspek pengaturan usaha – usaha pembangunan hasil dan pembangunan ekonomi secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
Hukum ekonomi Indonesia dibedakan
menjadi 2, yaitu :
a. Hukum Ekonomi Pembangunan
Hukum ekonomi pembangunan adalah
yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara – cara peningkatan
dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
b. Hukum Ekonomi Sosial
Hukum ekonomi sosial adalah yang
menyangkut peraturan pemikiran hukum mengenai cara – cara pembegian hasil
pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam HAM manusia
Indonesia. Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut peraturan
pemikiran hukum mengenaicara-cara pembegian hasil pembangunan ekonomi nasional
secara adil dan merata dalam HAM manusia Indonesia.
Namun
ruang lingkup hukum ekonomi tidak dapat diaplikasikan sebagai satu bagian dari
salah satu cabang ilmu hukum, melainkan merupakan kajian secara interdisipliner
dan multidimensional. Atas dasar itu, hukum ekonomi menjadi tersebar dalam
berbagai peraturan undang-undangyang bersumber pada pancasila dan UUD
1945.Sementara itu, hukum ekonomi menganut azas, sebagi berikut :
- Azas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan TME.
- Azas manfaat.
- Azas demokrasi pancasila.
- Azas adil dan merata.
- Azas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan.
- Azas hukum.
- Azas kemandirian.
- Azas Keuangan.
- Azas ilmu pengetahuan.
- Azas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan, dan kesinambungan dalam kemakmuranrakyat.
- Azas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
- Azas kemandirian yang berwawasan kenegaraan.
Dengan
demikian, dalam era globalisasi membuat dunia menjadi satu sehingga batas-batas
Negara dalam pengertian ekonomi dan hukum menjadi kabur. Oleh karena itu,
pertimbangan tentang apa yang berkembang secara internasional menjadi begitu
penting untuk dijadikan dasar-dasar hukum ekonomi.
Referensi