Pengertian
Monopoli
Di dalam Wikipedia disebutkan bahwa Pasar Monopoli
(dari bahasa Yunani: “monos”
yang berarti satu, dan ” polein
” yang berarti menjual) adalah suatu bentuk pasar di mana hanya
terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga (price- maker ) pada pasar
ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai
"monopolis".
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan Monopoli adalah situasi yang pengadaan barang
dagangannya tertentu ( di pasar lokal atau nasional ) sekurang-kurangnya
sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya
dapat dikendalikan.
Monopoli di dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah “al-Ihtikar“, yaitu secara
bahasa adalah menyimpan makanan, adapun secara istilah adalah : “ Seseorang
membeli makanan ketika harganya tinggi untuk diperjualbelikan, tetapi dia tidak
menjualnya pada waktu itu, justru malah ditimbunnya agar menjualnya dengan
harga yang lebih tinggi. ( Imam
Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim : 10/ 219 )
Pada tanggal 5 Maret 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
Undang-undang No. 5 tahun 1999, tentang larangan Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, dan pada pasal 1 disebutkan bahwa Monopoli adalah : “Penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau
suatu kelompok pelaku usaha”.
Hukum Monopoli
Monopoli hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
Dalil Pertama
: Firman Allah subhanahu wa
ta’ala :
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ
عَذَابٍ أَلِيمٍ
“ Dan barang siapa yang
bermaksud di dalamnya ( Mekkah ) melakukan kejahatan secara lalim, niscaya akan
Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” ( Qs al-Hajj :
25 )
Berkata ath-Thobari di dalam tafsirnya (9/131 ) : “
Yang dimaksud melakukan kejahatan di dalamnya adalah melakukan monopoli makanan
di Mekkah. “
Dalil
Kedua : Hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
لا
ضرر ولا ضرار، من ضار ضاره الله، ومن شاق شق الله عليه
“ Tidak boleh memberikan
madharat kepada diri sendiri dan kepada orang lain, barang siapa yang
memberikan madharat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan madharat
kepadanya, dan barangsiapa yang memberikan beban kepada orang lain, maka Allah
akan memberikan beban kepadanya.“ ( HR. Daruquthni (3/ 77 ) , lihat
juga Bulughul Maram, hadits : 910 )
Berkata Ibnu Sholah : “ Hadist ini dinisbatkan kepada Daruquthni dari berbagai
jalan yang kesemuanya menguatkannya dan menjadikan hadist ini hasan. Mayoritas
ulama menerimanya dan dijadikan sebagai sandaran dalam hukum. “
Dalil Ketiga :
Hadist Ma’mar bin Abdullah radhiyallahu
'anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنِ
احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“ Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa.” (HR Muslim (1605).
Perbedaan Para Ulama
Walaupun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang monopoli yang dilarang
dalam hadist di atas,
Pendapat Pertama
: Monopoli yang diharamkan hanya pada makanan saja, selain makananan
dibolehkan. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Dalilnya bahwa Sa’id bin Musayyib perawi hadist di atas, ketika ditanya,
“Kenapa engkau melakukan penimbunan ?” Sa’id menjawab : “Sesungguhnya
Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan penimbunan(selain
makanan)“. Ini menunjukkan bahwa yang dilarang adalah menimbun makanan.
Pendapat Kedua
: Monopoli yang diharamkan adalah pada semua jenis barang yang bisa merugikan
masyarakat, khususnya pada barang-barang yang menjadi kebutuhan umum
masyarakat, seperti makanan pokok, cabe, bawang, bensin dan lain-lainnya.
Berkata Imam al-Baghawi di dalam Syarhu
as-Sunnah(8/179) : “Imam Malik dan Imam at-Tsauri mengharamkan
monopoli pada semua barang “
Kriteria Monopoli Yang
Dilarang
Menimbun barang yang diharamkan menurut mayoritas ulama bila memenuhi
beberapa kriteria di bawah ini :
Pertama :
Monopoli yang dilarang adalah jika penimbun membelinya dari pasar umum. Adapun
jika menimbun dari sawahnya sendiri atau dari hasil kerjanya sendiri maka hal
itu dibolehkan.
Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni
( 4/ 154 ) : “ Jika dia mengambil barang dari tempat lain atau dari
sawahnya sendiri dan menyimpannya, maka tidak termasuk menimbun yang dilarang.
“
Di dalam Mushannaf Abdu
Rozaq ( 14885 ) dengan sanad shahih bahwa Thowus menyimpan bahan
makanan hasil panen sawahnya selama dua sampai tiga tahun, untuk dijualnya
ketika harga barang naik.
Kedua : Monopoli
yang dilarang adalah jika dia membeli barang tersebut ketika harganya mahal,
untuk kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Seperti orang
membeli bensin banyak-banyak menjelang harga naik, untuk disimpannya dan
menjualnya dengan harga tinggi.
Kalau membeli ketika harga murah dan barangnya berlimpah di masyarakat dan
menyimpannya untuk dijual dengan harga lebih mahal karena kebutuhan hidupnya,
maka ini tidak termasuk monopoli yang dilarang.
Berkata Imam
Nawawi di dalam Syarh Shahih
Muslim (11/ 41): “ Monopoli yang diharamkan adalah jika seseorang
membeli makanan ketika harganya mahal dengan tujuan untuk dijual lagi,
dia tidak menjualnya langsung, tetapi disimpannya terlebih dahulu agar harganya
lebih mahal. Adapun jika dia membeli makanan tersebut pada waktu harga murah,
kemudian menyimpannya dan menjualnya ketika harga tinggi, karena dia
membutuhkan ( uang ) untuk makan, ataupun jika seseorang membeli makanan
tersebut kemudian dijualnya lagi, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak
termasuk dalam monopoli, dan tidak diharamkan. “
Ketiga :
Monopoli yang dilarang adalah jika dia menimbun untuk dijual kembali. Adapun
jika ia menimbun makanan atau barang untuk kebutuhan pribadi atau keluarga,
tanpa ada niat menjualnya bukan termasuk monopoli yang dilarang.
Berkata al-Baji di dalam al-Muntaqa
( 5/15 ) : “ Monopoli itu adalah menimbun barang dagangan dan
mengambil untung darinya. Adapun menyimpan bahan makanan ( untuk keperluan
sendiri ), maka tidak termasuk monopoli. “
Di dalam hadist Umar bin Khattab radhiyallahu
'anhu bahwa beliau berkata :
انَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْبِسُ نَفَقَةَ أَهْلِهِ
سَنَةً ، ثُمَّ يَجْعَلُ مَا بَقِيَ مِنْ تَمْرِهِ مَجْعَلَ مَالِ اللَّهِ
“ Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpan makanan
untuk keluarganya selama setahun, adapun sisa dari kurmanya dijadikan sebagai
harta Allah ( untuk dinfakkan).”
( HR. Abdur Rozaq di dalam al Mushannaf (14451). Hadist yang serupa juga
diriwayatkan Bukhari (2904 )dan Muslim (1757 ))
Keempat :
Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang pada waktu masyarakat membutuhkan
barang tersebut. Adapun menimbun barang yang banyak beredar di masyarakat untuk
persiapan musim paceklik maka itu dibolehkan.
Nabi Yusuf alaihi as-salam pernah
melakukan penyimpanan bahan makanan secara besar-besaran pada musim panen untuk
persiapan menghadapi musim paceklik di masa mendatang, dan ini tidak
mempengaruhi pasar, sebagaimana disebutkan al-Qur’an :
قَالَ
تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ
إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تَأْكُلُونَ ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ
شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ
ثمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ
يَعْصِرُونَ
“Yusuf berkata: "Supaya
kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan
apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari
(bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang
padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras
anggur." ( Qs Yusuf : 47-49 )
Berkata al-Qurtubi
di dalam tafsirnya ( 9/204 ) : “ Ayat di atas menunjukkan kebolehan
menimbun makanan sampai waktu yang dibutuhkan. “
Berkata Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla ( masalah 1568
) : “ Menimbun barang ketika masih melimpah tidaklah berdosa, bahkan sebaliknya
dia telah melakukan kebaikan, karena kalau barang dijual semuanya, nanti cepat
habis, sehingga tidak ada persediaan dan masyarakat tidak memilikinya lagi, hal
itu akan merugikan kaum muslimin. “
Kelima
: Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang-barang yang
merupakan kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, minyak dan
lain-lain. Adapun menimbun barang-barang yang bukan kebutuhan pokok masyarakat
dan barang tersebut banyak di tangan para pedagang, serta tidak merugikan
masyarakat, maka hal ini dibolehkan.
Dalam Undang-Undang Dasar 45, pasal 33 ayat 2 : "Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara."
Pada ayat 4 disebutkan : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Referensi
:
http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/463/hukum-monopoli-dalam-islam/