Senin, 10 Juli 2017

HUKUM PEMBERIAN POTONGAN HARGA DALAM ISLAM



HUKUM PEMBERIAN POTONGAN HARGA DALAM ISLAM

Pada prinsipnya penjual berhak menawarkan barangnya dengan harga sesuai yang dia inginkan. Karena barang yang dia jual adalah milik dia. Dan seseorang berhak untuk memberlakukan barangnya sesuai yag dia inginkan. Sehingga, penjual berhak menrunkan harga, memberi diskon atau potongan kepada konsumennya. Dia juga berhak menetapkan harga yang berbeda untuk konsumennya. Konsumen si A diberi harga Rp 1000; sementara konsumen si B diberi harga Rp 1500.

Lalu bagaimana dengan kasus memberi diskon untuk barang yang sudah diakadkan?
Misal, pada waktu akad, barang dijual dengan harga 2jt secara kredit selama 1th. Dalam perjalanannya, konsumen bisa melunasi 6 bulan lebih cepat. Bolehkah konsumen meminta diskon? Atau bolehkan penjual memberi diskon? Apakah ini tidak termasuk jual beli 2 harga?

Sebelumnya, kita kembalikan kepada hadis mengenai jual beli 2 harga.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli. (HR. Ahmad 9834, Nasai 4649, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا

Siapa yang melakukan 2 transaksi dalam satu transaksi maka dia hanya boleh mendapatkan kebalikannya (yang paling tidak menguntungkan) atau riba. (HR. Abu Daud 3463, Ibnu Hibban 4974 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Di antara tafsir mengenai jual beli 2 harga, disebutkan oleh  Turmudzi dalam kitab Jami’nya,
وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين فى بيعة. أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على واحد منهما

Sebagian ulama menafsirkan, bahwa dua transaksi dalam satu akad, bentuknya, penjual menawarkan: “Baju ini aku jual ke anda, tunai 10 dirham, dan jika kredit 20 dirham. Sementara ketika mereka berpisah, belum menentukan harga mana yang dipilih. Jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, dibolehkan, jika disepakati pada salah satu harga. (Jami’ at-Turmudzi, 5/137).

Tafsir ini yang lebih masyhur dalam madzhab Syafiiyah.

Ketika penjual menawarkan, “Saya jual barang ini, jika tunai 10 rb, jika kredit 2 bln, jadinya 15 rb.” Lalu barang dibawa pembeli dan barang mereka bawa tanpa menentukan harga mana yang diambil. Harga tunai ataukah harga kredit. Ini hukumnya dilarang. Namun jika mereka berpisah dan telah menentukan salah satu harga yang ditawarkan, hukumnya dibolehkan.

Artinya, selama pada saat deal transaksi harga yang ditetapkan satu, transaksinya boleh. Bisa saja harga diubah di belakang hari setelah pembayaran lunas, selama tidak ada kesepakatan di depan. Karena jika ada kesepakatan diskon di depan disebabkan pembayaran yang lebih cepat, maka termasuk jual beli 2 harga. Sebagai ilustrasi, untuk harga kredit 1 tahun senilai 2 jt, ada perjanjian, jika konsumen bisa melunasi kurang dari 6 bulan, akan mendapat diskon 10%.

Ketika kesepakatan ini dijalankan, terjadilah transaksi yang mengandung 2 harga. Harga 1 tahun, dan harga 6 bulan dengan potongan 10%, yaitu 1,8jt. Dan keduanya berlaku dalam akad yang sama.

Akan tetapi, jika diskon karena pembayaran lebih cepat tidak disyaratkan di depan, tidak ada masalah insya Allah.

Inilah yang menjadi salah satu keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Isami dalam muktamarnya ke-7 yang diselenggarakan di Jedah KSA, Dzulqa’dah 1412 H. Pada keputusan nomor 64, poin ke-4 dinyatakan,

الحطيطة من الدين المؤجل، لأجل تعجيله، سواء أكانت بطلب الدائن أو المدين (ضع وتعجل) جائزة شرعاً، لا تدخل في الربا المحرم إذا لم تكن بناء على اتفاق مسبق، وما دامت العلاقة بين الدائن والمدين ثنائية

Potongan pelunasan untuk pembayaran terutang, karena dibayarkan lebih cepat, baik atas permintaan kreditor maupun debitor, hukumnya boleh. Tidak termasuk dalam riba yang dilarang, selama tidak ada kesepakatan di depan. Selama keterkaitan antara kreditor dan debitor hanya 2 pihak (tidak ada pihak ketiga). (Majallah al-Majma’, volume 6/1, hlm. 193)
Sumber:

https://konsultasisyariah.com/29192-hukum-memberi-potongan-harga-cashback.html

HUKUM JUAL BELI SISTEM KREDIT DALAM ISLAM



HUKUM JUAL BELI DENGAN SISTEM KREDIT DALAM ISLAM

Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:

1. Firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)

Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.

Rambu-Rambu Kredit
Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di antaranya adalah:

1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar

Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll. Dan kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang tahan lama, seperti; gandum, kurma, beras, dll.

Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas dengan uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara tunai. Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar tidak terjadi praktik riba nasi’ah.

Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ رباً إلا مِثْلًا بِمِثْلٍ ويَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد

Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat:
  1. sama ukurannya
  2. dan dilakukan secara tunai (cash)
Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim).

Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak diperbolehkan jual beli uang, valas, emas atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit.

2. Hindari penundaan serah terima barang
Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima barang. Sebab hal itu merupakan praktik jual beli hutang dengan hutang. Artinya, barang masih berada dalam tanggungan penjual dan uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli.

Inilah praktik jual beli dain bid dain yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab beliau, Al-Mughni

Diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343)

Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini sebagai hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil. Meskipun demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini adalah ijma’.”

Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit

Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst.

Kenyataannya, praktik semacam inilah yang banyak berkembang di dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini.

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini. Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini, dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga dan pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.

Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau boleh dilakukan.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296)

Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’i. Beliau membuat sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (بيعتين في بيعة) kemudian beliau mengatakan, “Yaitu perkataan seseorang, ‘saya jual dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai, dan dua ratus dirham secara kredit.”

Pendapat yang Lebih Kuat

Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam memahami konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut (kredit dengan harga ganda) bukanlah transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di atas. Sedangkan pendapat ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.

Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran yang lebih tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya7, bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal secara kredit.

Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan:
  1. Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.
  2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيءٍ فَليُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604)
Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad pemesanan). Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan barang dengan syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu penyerahannya jelas, maka boleh juga dalam akad kredit mengakhirkan penyerahan uang dengan syarat peyerahan barang secara kontan serta nominal pembayaran dan waktu pembayarannya jelas.

Catatan Penting
Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam akad jual beli kredit. Di antaranya adalah;
  1. Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka maka sebesar itulah jumlah uang yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak untuk mengambil lebih, sekalipun pembeli terlambat melunasi pembayaran.
    Misalnya, “A” membeli barang kepada pihak “B” dengan harga 10 juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika ternyata pihak “A”tidak mampu melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B” tidak berhak menaikkan harga yang telah disepakati.
  2. Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga juga sudah disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli. Dengan demikian, penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang dagangannya meskipun uang cicilan kredit belum selesai.
Sumber:

MONOPOLI DALAM ISLAM



Pengertian Monopoli

            Di dalam Wikipedia disebutkan bahwa Pasar Monopoli (dari bahasa Yunani: “monos” yang berarti satu, dan ” polein ” yang berarti menjual) adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga (price- maker ) pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis".       

            Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan Monopoli adalah situasi yang pengadaan barang dagangannya tertentu ( di pasar lokal atau nasional ) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan. 

            Monopoli di dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah “al-Ihtikar“, yaitu secara bahasa adalah menyimpan makanan, adapun secara istilah adalah : “ Seseorang membeli makanan ketika harganya tinggi untuk diperjualbelikan, tetapi dia tidak menjualnya pada waktu itu, justru malah ditimbunnya agar menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. ( Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim : 10/ 219

            Pada tanggal 5 Maret 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1999, tentang larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan pada pasal 1 disebutkan bahwa Monopoli adalah : “Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha”.

            Hukum Monopoli
            Monopoli hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :

            Dalil Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala : 

        وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
           
 “ Dan barang siapa yang bermaksud di dalamnya ( Mekkah ) melakukan kejahatan secara lalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” ( Qs al-Hajj : 25 )
             Berkata ath-Thobari di dalam tafsirnya (9/131 ) : “ Yang dimaksud melakukan kejahatan di dalamnya adalah melakukan monopoli makanan di Mekkah. “

             Dalil Kedua : Hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا ضرر ولا ضرار، من ضار ضاره الله، ومن شاق شق الله عليه
           
 “ Tidak boleh memberikan madharat kepada diri sendiri dan kepada orang lain, barang siapa yang memberikan madharat kepada orang lain, maka Allah akan memberikan madharat kepadanya, dan barangsiapa yang memberikan beban kepada orang lain, maka Allah akan memberikan beban kepadanya.“ ( HR. Daruquthni (3/ 77 ) , lihat juga Bulughul Maram, hadits : 910 ) 

            Berkata Ibnu Sholah : “ Hadist ini dinisbatkan kepada Daruquthni dari berbagai jalan yang kesemuanya menguatkannya dan menjadikan hadist ini hasan. Mayoritas ulama menerimanya dan dijadikan sebagai sandaran dalam hukum. “

            Dalil Ketiga : Hadist Ma’mar bin Abdullah radhiyallahu 'anhu bahwa  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
           
 “ Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa.” (HR Muslim (1605).

            Perbedaan Para Ulama  

            Walaupun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang monopoli yang dilarang dalam hadist di atas,

            Pendapat Pertama : Monopoli yang diharamkan hanya pada makanan saja, selain makananan dibolehkan. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.

            Dalilnya bahwa Sa’id bin Musayyib perawi hadist di atas, ketika ditanya, “Kenapa engkau melakukan penimbunan ?” Sa’id menjawab :  “Sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan penimbunan(selain makanan)“. Ini menunjukkan bahwa yang dilarang adalah menimbun makanan.

            Pendapat Kedua : Monopoli yang diharamkan adalah pada semua jenis barang yang bisa merugikan masyarakat, khususnya pada barang-barang yang menjadi kebutuhan umum masyarakat, seperti makanan pokok, cabe, bawang, bensin dan lain-lainnya.

            Berkata Imam al-Baghawi di dalam  Syarhu as-Sunnah(8/179) : “Imam Malik dan Imam at-Tsauri mengharamkan monopoli pada semua barang “

            Kriteria Monopoli Yang Dilarang 
            Menimbun barang yang diharamkan menurut  mayoritas ulama bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :

            Pertama : Monopoli yang dilarang adalah jika penimbun membelinya dari pasar umum. Adapun jika menimbun dari sawahnya sendiri atau dari hasil kerjanya sendiri maka hal itu dibolehkan.

            Berkata Ibnu Qudamah di dalam  al-Mughni ( 4/ 154 ) : “ Jika dia mengambil barang dari tempat lain atau dari sawahnya sendiri dan menyimpannya, maka tidak termasuk menimbun yang dilarang. “

            Di dalam Mushannaf Abdu Rozaq ( 14885 ) dengan sanad shahih bahwa Thowus menyimpan bahan makanan hasil panen sawahnya selama dua sampai tiga tahun, untuk dijualnya ketika harga barang naik. 

            Kedua : Monopoli yang dilarang adalah jika dia membeli barang tersebut ketika harganya mahal, untuk kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi.  Seperti orang membeli bensin banyak-banyak menjelang harga naik, untuk disimpannya dan menjualnya dengan harga tinggi. 

            Kalau membeli ketika harga murah dan barangnya berlimpah di masyarakat dan menyimpannya untuk dijual dengan harga lebih mahal karena kebutuhan hidupnya, maka ini tidak termasuk monopoli yang dilarang.

            Berkata Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (11/ 41): “ Monopoli yang diharamkan adalah jika seseorang membeli makanan ketika harganya mahal dengan tujuan untuk dijual lagi,  dia tidak menjualnya langsung, tetapi disimpannya terlebih dahulu agar harganya lebih mahal. Adapun jika dia membeli makanan tersebut pada waktu harga murah, kemudian menyimpannya dan menjualnya ketika harga tinggi, karena dia membutuhkan ( uang ) untuk makan, ataupun jika seseorang membeli makanan tersebut kemudian dijualnya lagi, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak termasuk dalam monopoli, dan tidak diharamkan. “ 

            Ketiga : Monopoli yang dilarang adalah jika dia menimbun untuk dijual kembali. Adapun jika ia menimbun makanan atau barang untuk kebutuhan pribadi atau keluarga, tanpa ada niat menjualnya bukan termasuk monopoli yang dilarang.

            Berkata al-Baji di dalam al-Muntaqa ( 5/15 ) : “ Monopoli itu adalah menimbun barang dagangan dan mengambil untung darinya. Adapun menyimpan bahan makanan ( untuk keperluan sendiri ), maka tidak termasuk monopoli. “

            Di dalam hadist Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata :

انَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْبِسُ نَفَقَةَ أَهْلِهِ سَنَةً ، ثُمَّ يَجْعَلُ مَا بَقِيَ مِنْ تَمْرِهِ مَجْعَلَ مَالِ اللَّهِ
           
 “ Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyimpan makanan untuk keluarganya selama setahun, adapun sisa dari kurmanya dijadikan sebagai harta Allah ( untuk dinfakkan).” ( HR. Abdur Rozaq di dalam al Mushannaf (14451). Hadist yang serupa  juga diriwayatkan Bukhari (2904 )dan Muslim (1757 ))

            Keempat : Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang pada waktu masyarakat membutuhkan barang tersebut. Adapun menimbun barang yang banyak beredar di masyarakat untuk persiapan musim paceklik maka itu dibolehkan.

            Nabi Yusuf alaihi as-salam pernah melakukan penyimpanan bahan makanan secara besar-besaran pada musim panen untuk persiapan menghadapi musim paceklik di masa mendatang, dan ini tidak mempengaruhi pasar, sebagaimana disebutkan al-Qur’an :

قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تَأْكُلُونَ ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ ثمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ
            
“Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur." ( Qs Yusuf : 47-49 )

             Berkata al-Qurtubi di dalam tafsirnya ( 9/204 ) : “  Ayat di atas menunjukkan kebolehan menimbun makanan sampai waktu yang dibutuhkan. “

             Berkata Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla ( masalah 1568 ) : “ Menimbun barang ketika masih melimpah tidaklah berdosa, bahkan sebaliknya dia telah melakukan kebaikan, karena kalau barang dijual semuanya, nanti cepat habis, sehingga tidak ada persediaan dan masyarakat tidak memilikinya lagi, hal itu akan merugikan kaum muslimin. “

             Kelima : Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, minyak dan lain-lain. Adapun menimbun barang-barang yang bukan kebutuhan pokok masyarakat dan barang tersebut banyak di tangan para pedagang, serta tidak merugikan masyarakat, maka hal ini dibolehkan.

            Dalam Undang-Undang Dasar 45,  pasal 33 ayat 2 :  "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara."  

            Pada ayat 4 disebutkan  : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Referensi :
http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/463/hukum-monopoli-dalam-islam/