Senin, 24 April 2017

HUKUM-HUKUM EKONOMI YANG BERLAKU DI INDONESIA DAN PASAL-PASALNYA


PENGERTIAN HUKUM DAGANG

            Hukum dagang dikatakan juga merupakan bagian dari hukum perdata atau hukum perdata khusus. Paham ini timbul akibat adanya kodifikasi hukum dagang dalam KUHD dan hukum perdata dalam KUHPerdata, karena hanya mengatur tentang perdagangan.

·    Pendapat Ahmad Ihsan, hukum dagang adalah hukum yang mengatur tentang masalah perdagangan atau perniagaan.

·    Pendapat Purwo Sucipto, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul dalam lapangan perusahaan.

·    Secara umum à hukum dagang adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara satu orang dengan orang yang lain dalam bidang perdagangan atau perusahaan.

Sekarang ini, istilah hukum dagang cenderung sudah ditinggalkan, karena:

·    Istilah pedagang dan perdagangan yang diatur dalam pasal 2-5 KUHD sejak 1938, diganti oleh pemerintah Belanda : Pedagang => Pengusaha dan Perdagangan => Perusahaan.

·    Hukum dagang itu, tidak hanya membicarakan masalah kegiatan dagang (jual beli) tetapi juga membicarakan, membahas hal-hal lain yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan organisasi atau badan usaha yang melakukan kegiatan perdagangan/ jual beli itu.

·   Hukum dagang juga mengatur pelaku perdagangan, (PT, FIRMA)
·   Akhir2 ini istilah hukum bisnis lebih populer. Hukum bisnis berasal dari BUSSINESS yg artinya kegiatan usaha. Jadi kegiatan bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh perorangan ataupun oleh suatu perkumpulan (badan usaha, perusahaan) secara teratur dan terus menerus berupa kegiatan pengadaan barang maupun jasa. Dengan demikian, hukum bisnis adalah kumpulan peraturan2 yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan perusahaan di dalam menjalankan roda perekonomian.

SISTIMATIKA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG
Pada awalnya KUHD terdiri dari 3 buku. Buku ke- :
1.      Tentang perdagangan pada umumnya (definisi, pengertian,dsb)
2.      Mengatur tentang hak dan kewajiban yang lahir dari pelayaran. Karena semua kegiatan perdagangan umumnya melalui laut.
3.      Tentang kepailitan dan penundaan pembayaran. (kemudian dikeluarkan karena banyak tekanan, jadi sistematika hanya terdiri dari 2 buku. Dikeluarkan karena hukum kepailitan sepenuhnya merupakan hukum formil/ hukum acara. Kemudian pemerintah Indonesia menetapkan UU ttg kepailitan dan penundaan pembayaran utang dlm UU no 37 th 2004.) 

SUMBER-SUMBER HUKUM DAGANG INDONESIA :
1.      UU
a.      Yang sudah dikodefikasi : KUHP dan KUHD
b.      Yang belum dikodefikasi : Berbagai peraturan perUUan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang.
2.      Kebiasaan (custom)
3.      Yurisprudensi
4.      Traktat
5.      Doktrin

Selain kata dagang, pengertian ekonomi yang sering digunakan di dalam kitab uu hk dangang, adalah BEDRIJF (perusahaan) dan BEROEP (pekerjaan). Ada ketentuan2 khusus yang hanya berlaku untuk BEDRIJF.

Disebut BEDRIJF bila seseorang berpindah keluar (mlakukan kegiatan2 keluar) untuk mencari keuntungan dengan cara lebih banyak menggunakan modal dibandingkan tenaga. (pengusaha pabrik, pengusaha hotel, dsb.)

PASAL-PASAL YANG MENGATUR HUKUM DAGANG

Pasal-pasal yang digunakan dalam peraturan menyangkut hubungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHD) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP). Secara umum dapat dikatakan bahwa KUHP dan KUHD merupakan swatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. KUHP merupakan Hukum perdata umum sedangkan KUHD merupakan hukum perdata khusus ,maka hubungan kedua ini berlaku adegium “ Lex specialis derogat lex generali ( hukum khusus menyampingkan hukum umum ) , adegium ini dirumuskan dalam UU sebagaimana tercantum dalam pasal 1 KUHD yang berbunyi : KUHPerdata seberapajuah dan padanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan berlaku juga hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini.

Pasal 15 KUHD ; Segala perseroan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini dan oleh hukum perdata.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang diatur dalam KUHPer berlaku juga terhadap masalah-masalah yang tidak diatur secara khusus dalam KHUD dan sebaliknya apabila KUHD mengatur secara khusus maka ketentuan–ketentuan umum yang tidak diatur dalam KUHper tidak berlaku Hubungan antara KUHP dan KUHD sebagai hukum umum dan hukum khusus dapat dibuktikan lagi dari pasal-pasal 1319, 1339 , 1347 KUHPerdata, pasal 5, pasal 396 KUHD. Dengan demikian KHUPer dan KUHD tidak ada perbedaan asasi.

Antara KUHP dengan KUHD sebagai hukum khusus dan hukum umum yang bersifat subordinasi, lain hal dengan di negara Swiss bersifat koordinasi saling melengkapi , asas pada zivilgesetzbuch dapat dipakai dalam obligationenrech ,begitu pula sebaliknya.

Beberapa pendapat sarjana membicarakan hubungan KUHperdata dan KUHdagang antara lain :
1.       Van Kan beranggapan bahwa hukum dagang adalah suatu tambahan hukum perdata yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus,. KUHper memuat hukum perdata dalam arti sempit sedangkan KHUD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit.
2.       Van Apeldoorn menganggap hukum dagang suatu bagian istimewa dari lapangan hukum perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHperdata.
3.       Sukardono menyatakan bahwa pasal 1 KUHD memilihara kesatuan antara hukum perdata umum dan hukum perdata Dagang sekedar KUHD tidak khusus menyimpang dari KUHPerdata.
4.       Tirtamijaya menyatakan bahwa hukum dagang adalah suatu hukum perdata yang istimewa.
5.       Soebekti, terdapatnya KUHD disamping KHUPer sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya oleh karena itu sebenarnya hukum dagang tidak lain dari pada hukum perdat dan perkataan dagang bukan suatru pengertian ekonomi.

Sumber –sumber Hukum Dagang
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada aturan :
1.       Hukum Tertulis yang dikodifikasikan :
1.       Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia ( WVK )
2.       Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHP) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW).
3.       Secara langsung bersumber padacode du commerce dan code Civildan kedua kitab ini bersumber secara tidak langsung dari Ordonance de Commerce dan ordonence de la Marine
2.       Hukum tertulis yang belum dikodifikasi,
Yakni peraturan-peraturan/ perundang-undangan khusus yang mengtur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.

PENGERTIAN HUKUM DAGANG
Hukum dalam arti harfia dapat berarti :
·         Peraturan yang dibuat oleh sesuatu kekuasaan atau alat yang berlaku oleh dan untuk orang banyak.

·         Segala Undang-undang peraturan dsb untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.

Dari pengertian dapat disimpuilkan bahwa hukum adalah segala sesutau peratruran baik yang tertulis atau tidak tertulis untuk mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
Dari pengertian di atas terdapat kesamaan bahwa hukum adalah untuk mengatur manusia dalam hidup masyarakat, selanjutnya tentang Dagang dalam arti harfia berarti:

1.       selalu asing negeri asing
2.       selalu pengembara ; orang asing
3.       perniagaan ; jual beli.

Hukum Dagang hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lapangan perniagaan atau jual beli.

M.H Tirtaamidjaja, istilah hukum dagang ini dengan hukum perniagaan; Prof R.Soekardono menggunakan istilah hukum dagang, begitu pula saya sependapat dengan istilah hukum dagang walaupun secara harfia mempunyai arti yang sama yaitu : Dagang = perniagaan, karena perkataan dagang lebih populer atau lebih banyak digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ditanya apa pekerjaan anda ? orang akan menjawab berdagang.

Manusia yang berdagang disebut pedagang. Siapa pedagang itu ?

Dalam ketentuan lama dari pasal 2 s/d 5 kUHD disebutkan :
Pasal 2 : pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan pernaigaan ssebagai pekerjaannya sehari-hari.
Pasal 3 : perbuatan perniagaan pada umumnya adalah perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual.

HUKUM HUTANG-PIUTANG
Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) tidak diatur secara tegas dan terperinci, namun bersirat dalam Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyatakan dalam perjanjian pinjaman, pihak yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama (selanjutnya untuk kemudahan, maka istilah yang dipergunakan adalah “perjanjian utang piutang”). Pasal 1754 KUH Perdata yang dkutip sebagai berikut:

“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Sehingga, kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam perjanjian utang piutang tersebut harus dengan iktikad baik dilaksanakan. Dalam hal tidak ada atau bahkan kesepakatan rinci tidak dituangkan dalam suatu bentuk tertulis, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata ditegaskan bahwa aturan umum dalam KUH Perdata akan berlaku dan menjadi aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak. Berikut dikutip Pasal 1319 KUH Perdata sebagai berikut:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.”

Dengan berpatokan pada KUH Perdata, maka setiap penafsiran, tindakan, maupun penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk pada perjanjian utang piutang dan KUH Perdata. Termasuk untuk menentukan suatu pihak berada dalam keadaan wanprestasi, yang banyak ahli hukum perdata mengkategorikan wanprestasi ke dalam 4 (empat) keadaan, yaitu:
1.   Sama sekali tidak memenuhi.
2.   Tidak tunai memenuhi prestasi.
3.   Terlambat memenuhi prestasi.
4.   Keliru memenuhi prestasi.

Sehingga, pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila telah menerima teguran (sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang dikutip sebagai berikut:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Muara terakhir dari keadaan wanprestasi ini adalah pengajuan gugatan terhadap pihak yang berutang. Dengan demikian, pengadilan terkait didasarkan pada bukti yang kuat akan menyatakan si berutang berada dalam keadaan wanprestasi, dan diwajibkan untuk memenuhinya, serta apabila diminta pengadilan akan meletakan sita terhadap harta benda si berutang. Artinya, kekuatan eksekutorial dimiliki oleh pihak yang mengutangkan, sehingga secara hukum dia berhak meminta bantuan pengadilan untuk mengeksekusi barang si berutang tersebut.

Tugas dan fungsi Kepolisian
Kepolisian adalah alat Negara, yang berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang mana fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Ditinjau dari tujuan pembentukannya, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4 UU Kepolisian).

Tugas pokok dari Kepolisian sebagaimana termaktub dalam Pasal 13 UU Kepolisian, yang dikutip sebagai berikut:

“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Dalam menjalankan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU Kepolisian tersebut di atas, maka Kepolisian Republik Indonesia bertugas:
a.        Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b.        Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c.        Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warna masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d.        Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e.        Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f.         Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g.        Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h.        Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i.          Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j.          Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi  dan/atau pihak yang berwenang;
k.        Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l.          Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam menjalankan tugas di atas, Kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam PP RI No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian dikutip sebagaimana di bawah ini:
Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a.             melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.             melakukan kegiatan politik praktis;
c.             mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d.             bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e.             bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
f.              memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g.             bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h.             menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i.               menjadi perantara/makelar perkara;
j.               menelantarkan keluarga.


HUKUM KONTRAK KERJASAMA
            Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.   Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.     Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
  1. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
  1. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2.  Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  1. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.  Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
–          Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)           Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii)          Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
–          Mereka yang berada di bawah pengampuan.
–          Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
–          Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
  1. Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
  1. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

A.3.    Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
  1. Tidak melaksanakan isi perjanjian.
  2. Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
  3. Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.    Hapusnya Perjanjian

Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:

a.   Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela.  Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri

Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.

c.   Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.  Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.

d.   Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.  Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
(i)       Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii)      Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
(iii)     Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e.   Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.

f.   Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.

g.   Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

h.   Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti  permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi   syarat   subyektif  dapat  dilakukan  dengan  dua  cara, yaitu:
(i)       Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii)      Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
  1. i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

j.    Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.  Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.

B.       STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
  1. Judul/Kepala
  2. Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
  3. Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
  4. Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
  5. Penutup dari Perjanjian.
C.        BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
  • Lisan
  • Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
–          Di bawah tangan/onderhands
–          Otentik
C.1.     Pengertian Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a.  Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b. Akta Resmi (Otentik).

Akta Di bawah Tangan
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya.  Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:
(i)     Akta di bawah tangan biasa
(ii)    Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.
(iii)   Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak  namun  penandatanganannya   disaksikan   oleh  atau di hadapan Notaris, namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.


Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu.  Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
(i)     Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
(ii)    Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
(iii)   Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

HUKUM TENTANG KARYAWAN//BURUH DENGAN PERUSAHAAN/ORGANISASI
Berdasarkan Pasal 104 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) jo Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU Serikat Pekerja”), setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh ini dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh (Pasal 5 ayat [2] UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh).

Pada saat pembentukannya, suatu serikat pekerja/serikat buruh (SP) harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Hal ini berdasarkan Pasal 11 Serikat Kerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:

(1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
(2) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
a.    nama dan lambang;
b.    dasar negara, asas, dan tujuan;
c.    tanggal pendirian;
d.    tempat kedudukan;
e.    keanggotaan dan kepengurusan;
f.     sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g.    ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

Setelah proses pembentukannya selesai, maka tahapan yang harus dilakukan berikutnya adalah memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah Kabupaten atau walikotamadya di mana perusahaan berdomisili) untuk dilakukan pencatatan atas pembentukan SP tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal 18 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:

(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri:
a.    daftar nama anggota pembentuk;
b.    anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c.    susunan dan nama pengurus.

Selain itu, ditentukan pula bahwa nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh sama dengan nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat terlebih dahulu (Pasal 19 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh).

Dalam proses pembentukannya, tidak boleh ada pihak yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja. Barangsiapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk SP, dikenakan sanksi pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta (Pasal 28 jo. Pasal 43 ayat (1) UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh).

Setelah seluruh proses pembentukan SP ini selesai, pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada pihak perusahaan (manajemen perusahaan). Hal ini diatur dalam Pasal 23 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berbunyi :

“Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.”

Hal ini sesuai dengan penjelasan umum UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyebutkan bahwa pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha.
Jadi, dapat simpulkan bahwa syarat dan prosedur pendirian SP adalah:
1.    Ada setidaknya 10 orang anggota;
2.    Pembuatan AD/ART;
3.    Pencatatan di Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah Kabupaten atau walikotamadya setempat;
4.    Pemberitahuan ke pihak perusahaan mengenai keberadaan SP.

HUKUM EKONOMI PEMBANGUNAN
Pengertian ekonomi dan hukum ekonomi

Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan (Ingg: scarcity).

Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.

Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:

a.) Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal)

b.) Hukum ekonomi sosial, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan hak asasi manusia (misal, hukum perburuhan dan hukum perumahan).

Contoh hukum ekonomi :

1. Jika harga sembako atau sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.

2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.


3. Jika nilai kurs dollar amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri akan bangkrut.


4. Turunnya harga elpiji / lpg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar negeri.



5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.

Demikianlah penjelasan tentang hukum ekonomi secara keseluruhan semoga kita semua mengerti dan dapat megimplementasikan ke dalam kehidupan nyata ..

Hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakatdan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.

Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa yakni aturan-aturan yang apabila dilanggar menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.

Hukum ditinjau dari segi material dan formal

• Sumber-sumber hukum material

Dalam sumber hukum material dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah sosiolagi, filsafat, dsb

Contoh :

1. Seorang ahli ekonomi mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.

2. Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

• Sumber hukum formal

1. Undang – Undang (Statute)
Ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.


2. Kebiasaan (Costum)

Ialah suatu perbuatan manusia uang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal sama . Apabila suatu kebiasaan tersebut diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbul suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

3. Keputusan Hakim (Jurisprudentie)

Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila Undang – undang ataupun kebiasaan tidak member peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.

 1. Traktat (Treaty)
2. Pendapat sarjana hukum (Doktrin)
3.Kodifikasi hukum
Adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.

Ditinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas :

o   Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan pelbagai peraturan-peraturan

o   Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).

Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu :

o   Kodifikasi terbuka

Adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan-tambahan diluar induk kondifikasi.

“Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan”.

o   Kodifikasi tertutup
Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.

5.    Kaidah/Norma

Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).

 Definisi Hukum Ekonomi

Kata “ekonomi” sendiri berasal dari kata Yunani οἶκος (oikos) yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos), atau “peraturan, aturan, hukum,” dan secara garis besar diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.”

Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas.

Menurut M. Manulang, ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran (kemakmuran suatu keadaan di mana manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik barang-barang maupun jasa). Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian. Hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi kegiatan ekonomi denganharapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.

Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Dalam hal ini, Hukum Ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.

Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat. Selain itu Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.

Aspek Lain dari Hukum Ekonomi

Aspek dalam hukum ekonomi adalah semua yang berpengaruh dalam kegiatan ekonomi antara lain adalah pelaku dari kegiatan ekonomi yang jelas mempengaruhi kejadian dalam ekonomi, komoditas ekonomi yang menjadi awal dari sebuah kegiatan ekonomi, kemudian aspek-aspek lain yang mempengaruhi hukum ekonomi itu sendiri seperti contoh yang ada di atas, yaitu kurs mata uang, aspek lain yang berhubungan seperti politik dan aspek lain dalam hubungan ekonimi yang sangat kompleks. Selain aspek dalam hukum ekonomi ada juga norma dalam hukum ekonomi yang juga sudah digambarkan dalam berbagai contoh yang sudah disebutkan di atas, dimana jika suatu aspek ekonomi itu mengalami suatu kejadian yang menjadi sebab maka norma ekonomi itu berlaku untuk menjadikan bagaimana suatu sebab mempengaruhi kejadian lain yang menjadi akibat dari kejadian pada sebab tersebut. Dapat diartikan bahwa norma hukum ekonomi adalah aturan-aturan yang berlaku dalam hukum ekonomi tersebut.

            Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah penjabaran ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial sehingga hukum tersebut mempunyai dua aspek berikut:
  • Aspek pengaturan usaha – usaha pembangunan ekonomi.
  • Aspek pengaturan usaha – usaha pembangunan hasil dan pembangunan ekonomi secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
  •  
Hukum ekonomi Indonesia dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. Hukum Ekonomi Pembangunan
Hukum ekonomi pembangunan adalah yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara – cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
b. Hukum Ekonomi Sosial
Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut peraturan pemikiran hukum mengenai cara – cara pembegian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam HAM manusia Indonesia.  Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut peraturan pemikiran hukum mengenaicara-cara pembegian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam HAM manusia Indonesia.

Namun ruang lingkup hukum ekonomi tidak dapat diaplikasikan sebagai satu bagian dari salah satu cabang ilmu hukum, melainkan merupakan kajian secara interdisipliner dan multidimensional. Atas dasar itu, hukum ekonomi menjadi tersebar dalam berbagai peraturan undang-undangyang bersumber pada pancasila dan UUD 1945.Sementara itu, hukum ekonomi menganut azas, sebagi berikut :
  • Azas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan TME.
  • Azas manfaat.
  • Azas demokrasi pancasila.
  • Azas adil dan merata.
  • Azas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan.
  • Azas hukum.
  • Azas kemandirian.
  • Azas Keuangan.
  • Azas ilmu pengetahuan.
  • Azas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan, dan kesinambungan dalam kemakmuranrakyat.
  • Azas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
  • Azas kemandirian yang berwawasan kenegaraan.

Dengan demikian, dalam era globalisasi membuat dunia menjadi satu sehingga batas-batas Negara dalam pengertian ekonomi dan hukum menjadi kabur. Oleh karena itu, pertimbangan tentang apa yang berkembang secara internasional menjadi begitu penting untuk dijadikan dasar-dasar hukum ekonomi.
Referensi