Minggu, 04 Juni 2017

BATASAN PENGAMBILAN KEUNTUNGAN DALAM ISLAM



Batasan Mengambil Keuntungan
Berikut beberapa fatwa yang menjelaskan batasan mengambil keuntungan dalam berdagang,
Pertama, fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin,

Pertanyaan: ‘Apakah dalam berdagang ada batasan keuntungan? Dan bagaimana hukumnya pemerintah menetapkan harga?’

Jawaban beliau,
الربح ليس له حدّ ، فإنه مِن رِزق الله عز وجل ، والله تعالى قد يسوق الرزق الكثير للإنسان ، فأحيانا يربح الإنسان في العشرة مائة أو أكثر ؛ يكون قد اشترى الشيء بِزمن فيه الرخص ثم ترتفع الأسعار فيربح كثيرا ، كما أن الأمر كذلك يكون بالعكس ، قد يشتريها في زمن الغلاء وترخص رخصًا كثيرا ، فلا حدّ للربح الذي يجوز للإنسان أن يربحه.
Keutungan, tidak ada batasan tertentu. Karena itu termasuk rizki Allah. Terkadang Allah menggelontorkan banyak rizki kepada manusia.Sehinga kadang ada orang yang mendapatkan untung 100 atau lebih, hanya dengan modal 10. Dia membeli barang ketika harganya sangat murah, kemudian harga naik, sehingga dia bisa mendapat untung besar. Dan kadang terjadi sebaliknya, dia membeli barang ketika harga mahal, kemudian tiba-tiba harganya turun drastis. Karena itu, tidak ada batasan keuntungan yang boleh diambil seseorang.

Beliau melanjutkan,
نعم . لو كان هذا الإنسان هو الذي يختص بإيراد هذه السلع وتسويقها ورَبِح على الناس كثيرًا فإنه لا يَحِلّ له ذلك ؛ لأن هذا يُشبه بيع المضطر يعني البيع على المضطر ، لأن الناس إذا تعلَّقت حاجتهم بهذا الشيء ولم يكن موجودا الا عند شخص معين فإنه في حاجة للشراء منه وسوف يشتروا منه ولو زادت عليهم الأثمان ، ومثل هذا يجوز التسعير عليه ، وأن تتدخل الحكومة أو ولاة الأمر فيضربون له ربحًا مُناسبا لا يضره نقصه ، ويمنعونه من الربح الزائد الذي يَضرّ غيره
Jika ada orang yang memonopoli barang, hanya dia yang menjualnya, lalu dia mengambil keuntungan besar-besaran dari masyarakat, maka ini tidak halal baginya. Karena semacam ini sama dengan bai’ al-Mudhthor, artinya menjual barang kepada orang yang sangat membutuhkan. Karena ketika masyarakat sangat membutuhkan benda tertentu, sementara barang itu hanya ada pada satu orang, tentu mereka akan membeli darinya meskipun harganya sangat mahal. Dalam kasus ini, pemerintah bisa dilakukan pemaksaan harga, dan pemerintah berhak untuk turut campur, dan membatasi keuntungan yang sesuai baginya, yang tidak sampai merugikannya, dan dia dilarang untuk membuat keuntungan yang lebih, yang merugikan orang lain.
(Fatawa Islamiyah, 2/759).

Kedua, Fatwa Prof. Dr. Sulaiman Alu Isa (Guru besar di Universitas King Saud).
Pertanyaan: adakah batasan keuntungan yang ditetapkan dalam islam?

Jawaban:
فالجواب أنه لا مانع من زيادة السعر في سلعة ما لم تكن طعاماً فيدخل في الاحتكار المنهي عنه، لكن ينبغي ألا يخرج في زيادته عن السعر المعتاد فيدخل في الغبن الذي يكون للمشتري فيه الخيار بعد ثبوت البيع وقد حده بعض أهل العلم بالثلث؛ لقوله –صلى الله عليه وسلم- فيما رواه البخاري ومسلم:”الثلث والثلث كثير” وهذا كما أسلفت على رأي بعض أهل العلم.
Jawaban untuk kasus ini, tidak ada masalah dengan tambahan harga untuk suatu barang dagangan, selama bukan makanan, sehingga termasuk ihtikar (menimbun barang) yang hukumnya terlarang. Hanya saja, selayaknya tidak keluar dari harga normal, sehingga termasuk penipuan, yang menyebabkan pembeli memiliki hak pilih setelah jual beli. Sebagian ulama menetapkan batasannya adalah sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.” Dan ini, seperti yang telah saya sebutkan, adalah pendapat sebagian ulama.

Beliau melanjutkan,
هذا ولا يظهر لي والعلم عند الله تعالى نسبة محددة للربح لا يجوز تجاوزها لأن الإنسان قد يشتري سلعة برخص فيبيعها بضعف ما اشتراها به أو ينتظر فيها حلول وقتها المناسب لها فيبيعها بربح كثير وقد روى البخاري (3641) وأبو داود في سننه (3384) عن عروة –رضي الله عنه- أن النبي –صلى الله عليه وسلم- أعطاه ديناراً ليشتري له به شاة فاشترى به شاتين فباع إحداهما بدينار فجاء بدينار وشاة فدعا له بالبركة في بيعه. وكان لو اشترى التراب لربح فيه. فهذا الحديث فيه أن عروة ربح الضعف، حيث باع إحدى الشاتين بدينار، وكان قد اشترى به شاتين فربح في نصف الدينار مثله، وقد أقره النبي –صلى الله عليه وسلم- على فعله ودعا له بالبركة، والله أعلم.

Namun menurut saya – Allahu a’lam – tidak ada batasan tertentu untuk harga, hingga tidak boleh dilampaui. Karena seseorang terkadang membeli barang dagangan sangat murah, kemudian dia jual dengan harga berkali lipat dari kulakannya, atau dia tunggu kesempatan yang cocok, lalu dia jual sehingga mendapatkan untuk besar. Diriwayatkan Bukhari (3641) dan Abu Daud dalam Sunannya (3384) dari Urwah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya 1 dinar untuk membeli seekor kambing. Namun oleh Urwah satu dinar itu digunakan untuk membeli 2 ekor kambing. Kemudian satu kambing dijual lagi dengan harga 1 dinar. Sehingga dia pulang dengan membawa 1 dinar dan seekor kambing. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan untuknya. Andai Urwah ini menjual pasir, dia akan mendapat untung. Dalam hadis ini, Urwah mendapat untuk berlipat. Beliau menjual salah satu kambingnya dengan 1 dinar, padahal dia membeli dengan 1 dinar untuk 2 ekor kambing. Sehingga dia untuk satu kambing. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merestui perbuatan Urwah, bahkan mendoakannya dengan kebaikan.
Allahu a’lam.
(Fatawa wa Istisyarat Mauqi’ Islam al-Yaum, 3/2/1424 هـ).

Kesimpulan fatwa:
  1. Keuntungan adalah bagian dari rizki Allah, karena itu islam tidak membatasi keuntungan perdagangan.
  2. Boleh saja mengambil keuntungan dua kali lipat, sebagaimana disebutkan dalam hadis Urwah, selama memenuhi syarat.
  3. Syarat bolehnya mengambil keuntungan besar:
  4. Barang itu bukan kebutuhan pokok masyarakat
  5. Untungnya tidak berlebihan hingga termasuk penipuan
  6. Keuntungan itu tidak disebabkan karena usaha penimbunan (ihtikar), sehingga menyebabkan barang itu langka dan harganya menjadi mahal.
Konsumen yang membeli barang terlalu mahal, hingga terhitung penipuan, maka konsumen punya hak ‘khiyar ghabn’ (khiyar karena harga yang sangat tidak layak).
Referensi :

TULISAN 2 : HUKUM HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM



HUKUM HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM

Hukum hutang piutang dibolehkan dalam islam, Allah SWT berfirman :
مَنْذَاالَّذِييُقْرِضُاللَّهَقَرْضًاحَسَنًافَيُضَاعِفَهُلَهُأَضْعَافًاكَثِيرَةًوَاللَّهُيَقْبِضُوَيَبْسُطُوَإِلَيْهِتُرْجَعُونَ
Artinya;
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (Q. S. Al-Baqarah ayat 245).
Syarat Hutang Piutang dalam Islam
  • Harta yang dihutangkan jelas dan dari harta yang halal.
  • Pemberi pinjaman tidak dibolehkan mengungkit masalah hutang dan tidak menyakiti perasaan pihak yang piutang (yang meminjam).
  • Pihak yang piutang (peminjam) niatnya adalah untuk mencukupi keperluannya dan mendapat ridho Allah dengan mempergunakan yang dihutangkan secara benar.
  • Harta yang dihutangkan tidak membuat atua memberi kelebihan atau keuntungan pada pihak yang mempiutangkan.
Adab Hutang Piutang dalam Islam
  • Ada perjanjian tertulis dan saksi yang dapat dipercaya.
  • Pihak pemberi hutang tidak mendapat keuntungan apapun dari apa yang dipiutangkan.
  • Pihak piutang sadar akan hutangnya, harus melunasi dengan cara yang baik (dengan harta atau benda yang sama halalnya) dan berniat untuk segera melunasi.
  • Sebaiknya berhutang pada orang yang shaleh dan memiliki penghasilan yang halal.
  • Berhutang hanya dalam keadaan terdesak ata darurat.
  • Hutang piutang tidak disertai dengan jual beli.
  • Memberitahukan kepada pihak pemberi hutang jika akan terlambat untuk melunasi hutang.
  • Pihak piutang menggunakan harta yang dihutang dengan sebaik mungkin.
  • Pihak piutang sadar akan hutangnya dan berniat untuk segera melunasi.

Bahaya Sikap Hutang Piutang

Hutang merupakan sesuatu yang sensitif diantara hubungan sesama manusia. Meski Islam memperbolehkan untuk berhutang, itupun dengan syarat seperti yang sudah disebutkan di atas. Terutama, berhutang dianjurkan hanya pada keadaan yang benar-benar sangat terdesak saja.

Kebiasaan berhutang, meski tidak dalam keadaan darurat, justru akan memberikan dampak buruk terutama jika hutang tersebut tidak sempat untuk dilunasi karena yang berhutang lebih dulu meninggal dunia. Berikut bahayanya berhutang
Tidak salah lagi jika seseorang yang berhutang sering kali mengalami stres memikirkan hutangnya. Kesulitan untuk tidur, pikiran tidak fokus, bahkan sampai tidak nafsu makan. Hutang merupakan sesuatu yang menyebabkan seseorang mudah merasa sedih di malam hari karena memikirkan cara untuk melunasinya, sedangkan pada siang harinya akan merasa kehinaan karena merasa dipandang rendah oleh orang lain akan hutangnya.
Dalam kondisi psikis yang tertekan, ditambah fisik yang ikut lemas, tingkat stres pun akan semakin tinggi. Bagi mereka yang senantiasa menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, insya Allah bisa melalui semuanya dengan ikhlas. Sedangkan mereka yang berpikiran sempit, tak jarang memilih jalan pintas, misalnya bunuh diri, karena tidak sanggup lagi memikirkan bagaimana caranya untuk membayar hutang tersebut (terutama sekali jika hutang itu sudah jadi kebiasaan yang akhirnya akan menumpuk dan semakin sulit untuk menemukan cara melunasinya).

2.    Merusak Akhlak

Kebiasaan berhutang justru dapat merusak akhlak seseorang karena berhutang bukan termasuk dalam hobi yang baik, layaknya kebiasaan berbohong. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya;
Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri." (H. R. Al-Bukhari).
Seseorang yang terlilit hutang sangat mudah untuk dipengaruhi oleh iblis agar mengerjakan maksiat demi bisa melunasi hutangnya, dengan berbagai cara termasuk mencuri atau merampok.

3.    Dihukum Layaknya Seorang Pencuri

Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
““Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri." (H. R. Ibnu Majah).

4.    Jenazahnya Tidak dishalatkan

Sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Beliau pernah tidak mau menshalatkan jenazah seseorang yang rupanya masih memiliki hutang namun belum terbayar dan tidak ada meninggalkan sepeserpun harta untuk melunasinya. Sampai kemudian ada salah seorang sahabat yang bersedia menanggungkan hutangnya, baru Rasulullah SAW mau menshalatkan jenazah tersebut.

5.    Dosanya Tidak Terampuni Sekalipun Mati Syahid

Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya;
“Semua dosa orang yang mati syahid Akan diampuni (oleh Allah), kecuali hutangnya." (H. R. Muslim).

6.    Tertunda Masuk Surga

Dari Tsauban, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya;
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya (baca: meninggal dunia) dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya ia akan masuk surga, yaitu: bebas dari sombong, bebas dari khianat, dan bebas dari tanggungan hutang."

7.    Pahala adalah Ganti Hutangnya

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya;
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham." (H. R. Ibnu Majah).
Artinya, jika seseorang yang berhutang tidak sempat melunasinya karena meninggal dunia, maka diakhirat nanti pahalanya akan diambil untuk melunasi hutangnya tersebut.

8.    Urusannya Masih Menggantung

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya;
Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya." (H. R. Tirmidzi)
Berhutang memang diperbolehkan, namun menghindarinya adalah lebih baik. Setiap rezeki sudah diatur oleh Allah SWT. Hanya tinggal bagaimana kita menjemput rezeki tersebut, terutama agar mendapatkannya dengan cara yang halal. Jangan mudah tergiur dengan kemewahan sesaat, perbanyaklah berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT agar diberikan rezeki yang halal lagi berkah.
Referensi :

TULISAN 1 : HUKUM DAGANG




Perdagangan yang juga dikenal dengan perniagaan merupakan kegiatan atau pekerjaan membeli barang tertentu dengan waktu tertentu dengan keperluan untuk dijual kembali dengan tujuan dan maksud untuk memperoleh laba.

Dalam berdagang perlu diketahui juga terdapat suatu aturan-aturan yang dapat menjadi pedoman saat melakukan kegiatan dagang. Pedoman tersebut sering dikenal dengan istilah hukum dagang.

Hukum dagang (Handelsrecht) memuat keseluruahn aturan yang berkaitan dengan suatu perusahaan dalam lalu lintas kegiatan perdagangan. Dari pengertian di atas mengundang para ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari hukum dagang, meliputi:

1. Ahmad Ihsan
Hukum dagang merupakan pengaturan masalah perdagangan yang timbul diakibatkan tingkah laku manusia dalam perdagang.

 2. Purwo Sucipto
Hukum perikatan yang timbul dalam lapangan perusahaan.

3. CST. Kansil
Hukum perusahaan merupakan seperangkat aturan yang mengatur tingkah laku manusia yang ikut andil dalam melakukan perdagangan dalam usaha pencapaian laba.

4. Sunaryati Hartono
Hukum ekonomi keseluruhan keputusan yang mengatur kegiatan perekonomian.

5. Munir Fuadi
segala perangkat aturan tata cara pelaksanaan kegiatan perdagangan, industri, atau kuangan yang dihubugkan dngan produksi atau kegiatan tukar menukar barang.

Sumber – Sumber Hukum Dagang, meliputi:
  1. Yang tertulis dan dikodifikasi yaitu KUHD dan KUHPerdata
  2. Yang tertulis dan tidak dikodifikasi yaitu seluruh perundang-undangan tentang perdagangan.
  3. tidak tertulis yaitu kebiasaan.
Pada pokoknya Perdagangan mempunyai tugas untuk :
  1. Membawa/ memindahkan barang-barang dari tempat yang berlebihan (surplus) ke tempat yang berkekurangan (minus).
  2. Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen.
  3. Menimbun dan menyimpan barang-barang itu dalam masa yang berkelebihan sampai mengancam bahaya kekurangan.
Referensi :